Don't Forget to Leave Comment


Senin, 20 Januari 2014

Sipadan-Ligitan

Kronologi sengketa
Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati atau diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. karena kita taat pada hukum internasional yang melarang mengunjungi daerah status quo, ketika anggota kita pulang dari sana membawa laporan, malah dimarahi. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana.SIPADAN dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah.Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta agar pembangunan di sana disetop dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya.Pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.Setelah Sipadan dan Ligitan Terlepas dari Indonesia
Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim Sengketa Pedra Branca|pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina , Vietnam , Cina , dan Taiwan . Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.
Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim , dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997. Sementara pihak mengkaitkan dengan kesehatan Presiden Soeharto. Kohl zu Krankenbesuch bei "Freund" Suharto dengan akan dipergunakan fasilitas kesehatan di Malaysia Pemergian Suharto: Malaysia Kehilangan Sahabat Baik
Keputusan Mahkamah Internasional
Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi Mercu Suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Kesultanan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.

KRONOLOGI GENOSIDA RWANDA
Berikut adalah sebagian kronologi peristiwa yang termasuk dalam Genosida Rwanda 1994.
1994
6 April
*       Presiden Rwanda Juvenal Habyarimana dibunuh ketika sebuah granat roket meledakkan pesawat yang membawanya dan presiden Brundi Cyprien Ntaryamira, setelah negosiasi mengenai Piagam Arusha. Secara etnis pembantaian terencana terhadap Tutsi oleh Hutu radikal dimulai.
7 April
*       Pemblokiran jalan dibuat oleh Angkatan Bersenjata Rwanda (FAR) dan Iterahamwe. Anggotanya dan organisasi Hutu memulai kampanye pintu ke pintu, dimulai di utara negara dan menyebar ke selatan, menargetkan Rwanda Tutsi juga Hutu moderat. Perdana Menteri Agathe Uliwingiyimana, bersama dengan ribuan orang lainnya dibunuh.
8 April
*       Front Pratiotik Rwanda, dipimpin oleh calon presiden Rwanda Paul Kagame, melancarkan pertahanan besar untuk mengakhiri genosida dan menyelamatkan tentara yang terperangkap di Kigali. Jumlahnya sangat banyak, mereka mengikuti strategi menyerang pertahanan pemerintah tapi mengizinkan pemunduran, mencegah perang habis-habisan.
21 April
*       Setelah eksekusi sepuluh tentara Belgia yang menjaga Uwilingiyimana, PBB mengurangi pasukannya dari 2.500 hingga 250 orang.
28 – 30 April
*       Sejumlah besar Rwanda, terutama Hutu, menghindari serangan RPF, karena takut disiksa. Krisis yang berlanjut, dimana ratusan ribu orang memasuki Brundi, Tanzania, dan timur Republik Demokratik kongo, disiarkan ke seluruh dunia, dan banyak orang menyalah artikan pengungsi sebagai korban genosida.
*       Sementara itu, PBB membicarakan krissi di Rwanda, secara hati-hati menghindari penggunaan sebutan 'genosida', meski mereka dapat melakukan aksi yang lebih kejam.
17 Mei
*       PBB setuju mengirim 6.800 polisi, untuk menjaga warga sipil, sementara pembunuhan Tutsi berlanjut.
22 Juni
*       Operation turqoise dibuat, untuk menjaga Genocidaires Hutu dan menggagalkan serangan RPF. Polisi PBB yang dijanjikan, belum juga tiba.
Juli
*       Sementara pemerintahan Hutu mengungsi ke Zaire, RPF menduduki Kigali. Epidemi kolera di Zaire menewaskan ribuan pengungsi Hutu. Pembunuhan tersebar terjadi.
Agustus

*       Sebuah perjanjian untuk membentuk lembaga pengadilan penjahat perang, yang kemudian menjadi Internasional Criminal Tribunal for Rwanda, disetujui.

Referensi
http://id.wikipedia.org/wiki/Sengketa_Sipadan_dan_Ligitan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar