Don't Forget to Leave Comment


Jumat, 17 Januari 2014

Kasus Sandal Jepit dan Buah Kakao Ketidakadilan bagi Masyarakat Kecil

Kasus Sandal Jepit dan Buah Kakao Ketidakadilan bagi Masyarakat Kecil

Ada sesuatu hal yang menarik yang terjadi di Negara ini dalam sidang kasus ‘Sandal Jepit’’ dengan terdakwa siswa SMK di pengadilan Negeri Palu. Sungguh ironi, ketika seorang anak diancam hukuman lima tahun penjara akibat mencuri sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap dan Briptu Simson Sipayung,anggota Brimob Polda Sulteng pada Mei 2011 lalu.sehingga terjadi gerakan pengumpulan 1.000 sandal jepit di berbagai kota di Indonesia. Bahkan media asing seperti singapura dan Washington Post dari Amerika Serikat menyoroti sandal jepit sebagai symbol baru ketidakadilan di Indonesia dengan berbagai judul berita seperti ‘’Indonesians Protest With Flip-Flops’’,’’Indonesians have new symbol for injustice: sandals’’, ‘’Indonesians dump flip-flops at police station in symbol of frustration over uneven justice’’,serta ‘’ Indonesia fight injustice with sandals’’.

Apa sebenarnya yang sedang terjadi ketika kita menyimak peristiwa ini? Ada yang menyebut sebagai dicederainya rasa keadilan bagi masyarakat kecil. Pada kasus Sandal jepit ini,di satu sisi,dua orang aparat yang sebenarnya mampu membeli lagi sandal jepit baru,merasa pantas untuk menegakkan keadilan dengan mengintrogasi bocah pencuri sandal jepit. Dan bocah tersebut mengakui perbuatannya. Karena menggangap sang pelaku masih di bawah umur dan Berpegang pada Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 yang diberlakukan di wilayah hukum NKRI,maka kasus ini seharusnya diselesaikan melalui proses pembinaan bukan jalur hukum. Sehingga pihak kepolisian memanggil orang tua sang pelaku pencuri sandal jepit tersebut dengan tujuan,agar anak itu tidak mengulangi lagi perbuatannya.dan Peristiwa ini dianggap selesai dengan aksi orangtua menegur anaknya untuk tidak mengulangi perbuatannya di depan sang pemilik sandal jepit.

Namun di sisi lain menurut versi orang tua merasa tidak bisa menerima pengaduan sang buah hati yaitu sang bocah pencuri sandal jepit mengaku dianiaya,si orang tua merasa dicendarainya rasa keadilan bagi masyarakat kecil,ditandai dengan penganiayaan atas anaknya hanya karena mencuri sandal jepit.sehingga aksi orangtua melaporkan aparat digambarkan sebagai berusaha bangkit menegakkan keadilan yang akhirnya kasus tersebut diproses secara hukum. Sehingga 11 juli lalu kasus ini dibawa ke penuntut umum dan mulai disidang,tapi tidak dilakukan penahanan pada pelaku atas jaminan orangtuannya.

Kasus kecil yang menimpa orang kecil yang masih hangat dalam ingatan adalah kasus yang menimpa nenek minah berusia 55 tahun yang terjadi pertengahan agustus 2009. Nenek Minah warga desa Darmakraden, Kecamatan Ajibarang,Kabupaten Banyumas,Jawa Tengah harus dihadapkan ke Pengadilan Negeri Purrwokerto,Kabupaten Banyumas,dengan tuduhan mencuri buah kakao (coklat)milik perkebunan PT Rumpun Sari Antan 4. Nenek minah mengaku telah memetik tiga buah kakao dari perkebunan tersebut. Maksudnya untuk bibit di kebunnya yang kecil dan memang ditanami kakao. Tapi perbuatannya dipergoki mandor perkebunan. Dia minta maaf sambil mengembalikan ketiga kakao itu kepada sang mandor. Tapi rupanya tiada maaf bagi nenek minah,karena sang mandor melapor ke atasan dan diteruskan ke polisi. Di proses,lantas ke Kejaksaan,dan berakhir di Pengadilan Negeri Purwokerto. Nenek Minah dijatuhi hukuman percobaan 1 bulan 15 hari. Dia memang tidak perlu dipenjara,tapi jangan sampai melakukan tindak pidana. Dan sebelumnnya pun dia sudah menjalani tahanan rumah sekjak 13 Oktober sampai 1 November 2009.

Dalam kasus sandal jepit ini,dua pendapat yang bertentangan yaitu dari pihak aparat penegak hukum yaitu pemilik sandal jepit dan juga pendapat orangtua dari pencuri sandal jepit. Jika kita lihat dari kacamata aparat hukum memang tindakan aparat hukum tidak membawa kasus ini lewat jalur hukum sudah benar karena mengangap masih dibawah umur dan masih berstatus anak. Hanya saja yang perlu disalahkan tindakan para aparat penegak hukum kita dalam mengintrogasi para pelaku.haruskah dengan cara binatang?. Demi menegakkan keadilan dan merasa dicendarainya rasa keadilan bagi masyarakat kecil,ditandai dengan penganiayaan atas anaknya hanya karena mencuri sandal jepit. Tindakan orang tua si anak pencuri sandal jepit membawa kasus ini ke jalur hukum tidak lah salah tapi orang tua juga jangan mengacuhkan begitu saja nasib si anak sehingga anak bisa diseret ke pengadilan dan diancam hukuman lima tahun penjara.
Dari kedua kasus diatas,kasus yang menimpa bocah pencuri sandal jepit dan nenek pencuri buah kakao jelas Tidak ada keadilan disitu. Karena hukuman yang adil bukan sekedar berdasarkan pasal sekian pasal sekian,tapi ada pertimbangan lain,ada hati nurani dan peri kemanusiaan. Jika melihat dari sisi pasal-pasal yang tertera dalam KUHP,sang bocah dan nenek minah memang bisa dikatakan bersalah. Karena dia mencuri. Namun dari sisi lain,apakah itu dapat disebut hukum berkeadilan? Hanya mencuri tiga buah kakao yang dilakukan seorang anak dibawah umur dan perempuan tua,harus dihukum,sedangkan para koruptor yang melahap uang Negara Negara/rakyat sampai milyaran rupiah bebas karena katanya ‘’tidak ada bukti’’?

sebenarnya ada apa dengan dunia hukum kita?. Siapa pun orangnya sama di hadapan hukum,Itu benar seratus persen. Namun kenyataannya dinegara kita ini berbeda. Tidak semua orang sama di depan hukum.di Negara ini jika orang besar dituduh berbuat kesalahan apalagi yang dituduh mempunyai kekuasaan meskipun jelas ada bukti bersalah,tak langsung menerima hukuman. Proses pengadilannya bisa diulur-ulur atau ditunda-tunda,bahkan bisa sampai ‘’hilang’’ di tengah jalan. Berbeda dengan orang kecil yang dituduh berbuat kesalahan,’’cepat’’ dijatuhi hukuman,padahal banyak kejadian,kemudian terbukti dia tidak bersalah. Tapi dia sempat menjalani hukuman sampai bertahun-tahun. Tidak ada ganti rugi apapun dari pemerintah. Jadi hukum yang bagaimana yang harus ditegakkan di Negara ini? Yang Sering kali para pemimpin bangsa ini menyuarakannya di media-media. Apakah hanya hukum yang berdasar pasal demi pasal? Atau hukum yang berkeadilan,berhati nurani,dan bukan hukum yang buta?.

Pembahasan
Pemberian hukuman tindak pidana di Indonesia saya rasa masih kurang tegas, coba saja bayangkan dari cerita diatas pencuri sandal, pencuri kakao yang notabene pencurian tersebut dikategorikan sangat ringan tetapi jatuhan hukuman terhadap kasus tersebut cukup berat. Jangan karena mereka masyarakat kecil, jadi bertindak semena-mena. Buktinya saja para koruptor yang mencuri uang Negara sampai bertriliun-triliun, mereka divonis hukuman penjara menurut saya tidak lama, meskipun hitungan tahun, tetapi tidak sebanding dengan apa yang mereka perbuat. Seharusnya para koruptor di jatuhi hukuman sampai berpuluh tahun, didenda sesuai nominal yang dikorupsi, dan asset-aset milik pribadi kalau bisa disita juga, agar para koruptor itu jera. Coba bayangkan, para koruptor saja penjaranya saya rasa sudah cukup bagus  disbanding dengan penjara tindak pidana lain, apa karena mereka orang besar? High class? Lalu mereka bisa mendapat kenyamanan-kenyaman dalam penjara, tanpa harus dibebani rasa takut jikalau ada para napi lain yang akan mengajaknya ribut.
Referensi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar