Kasus Sandal Jepit dan Buah Kakao
Ketidakadilan bagi Masyarakat Kecil
Ada sesuatu hal yang menarik yang terjadi di Negara ini dalam
sidang kasus ‘Sandal Jepit’’ dengan terdakwa siswa SMK di pengadilan Negeri
Palu. Sungguh ironi, ketika seorang anak diancam hukuman lima tahun penjara
akibat mencuri sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap dan Briptu Simson
Sipayung,anggota Brimob Polda Sulteng pada Mei 2011 lalu.sehingga terjadi
gerakan pengumpulan 1.000 sandal jepit di berbagai kota di Indonesia. Bahkan
media asing seperti singapura dan Washington Post dari Amerika Serikat
menyoroti sandal jepit sebagai symbol baru ketidakadilan di Indonesia dengan
berbagai judul berita seperti ‘’Indonesians Protest With
Flip-Flops’’,’’Indonesians have new symbol for injustice: sandals’’,
‘’Indonesians dump flip-flops at police station in symbol of frustration over
uneven justice’’,serta ‘’ Indonesia fight injustice with sandals’’.
Apa sebenarnya yang sedang terjadi ketika kita menyimak
peristiwa ini? Ada yang menyebut sebagai dicederainya rasa keadilan bagi
masyarakat kecil. Pada kasus Sandal jepit ini,di satu sisi,dua orang aparat
yang sebenarnya mampu membeli lagi sandal jepit baru,merasa pantas untuk
menegakkan keadilan dengan mengintrogasi bocah pencuri sandal jepit. Dan bocah
tersebut mengakui perbuatannya. Karena menggangap sang pelaku masih di bawah
umur dan Berpegang pada Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002
yang diberlakukan di wilayah hukum NKRI,maka kasus ini seharusnya diselesaikan
melalui proses pembinaan bukan jalur hukum. Sehingga pihak kepolisian memanggil
orang tua sang pelaku pencuri sandal jepit tersebut dengan tujuan,agar anak itu
tidak mengulangi lagi perbuatannya.dan Peristiwa ini dianggap selesai dengan
aksi orangtua menegur anaknya untuk tidak mengulangi perbuatannya di depan sang
pemilik sandal jepit.
Namun di sisi lain menurut versi orang tua merasa tidak bisa
menerima pengaduan sang buah hati yaitu sang bocah pencuri sandal jepit mengaku
dianiaya,si orang tua merasa dicendarainya rasa keadilan bagi masyarakat
kecil,ditandai dengan penganiayaan atas anaknya hanya karena mencuri sandal
jepit.sehingga aksi orangtua melaporkan aparat digambarkan sebagai berusaha
bangkit menegakkan keadilan yang akhirnya kasus tersebut diproses secara hukum.
Sehingga 11 juli lalu kasus ini dibawa ke penuntut umum dan mulai disidang,tapi
tidak dilakukan penahanan pada pelaku atas jaminan orangtuannya.
Kasus kecil yang menimpa orang kecil yang masih hangat dalam
ingatan adalah kasus yang menimpa nenek minah berusia 55 tahun yang terjadi
pertengahan agustus 2009. Nenek Minah warga desa Darmakraden, Kecamatan
Ajibarang,Kabupaten Banyumas,Jawa Tengah harus dihadapkan ke Pengadilan Negeri
Purrwokerto,Kabupaten Banyumas,dengan tuduhan mencuri buah kakao (coklat)milik
perkebunan PT Rumpun Sari Antan 4. Nenek minah mengaku telah memetik tiga buah
kakao dari perkebunan tersebut. Maksudnya untuk bibit di kebunnya yang kecil
dan memang ditanami kakao. Tapi perbuatannya dipergoki mandor perkebunan. Dia
minta maaf sambil mengembalikan ketiga kakao itu kepada sang mandor. Tapi
rupanya tiada maaf bagi nenek minah,karena sang mandor melapor ke atasan dan
diteruskan ke polisi. Di proses,lantas ke Kejaksaan,dan berakhir di Pengadilan
Negeri Purwokerto. Nenek Minah dijatuhi hukuman percobaan 1 bulan 15 hari. Dia
memang tidak perlu dipenjara,tapi jangan sampai melakukan tindak pidana. Dan
sebelumnnya pun dia sudah menjalani tahanan rumah sekjak 13 Oktober sampai 1
November 2009.
Dalam kasus sandal jepit ini,dua pendapat yang bertentangan
yaitu dari pihak aparat penegak hukum yaitu pemilik sandal jepit dan juga
pendapat orangtua dari pencuri sandal jepit. Jika kita lihat dari kacamata
aparat hukum memang tindakan aparat hukum tidak membawa kasus ini lewat jalur
hukum sudah benar karena mengangap masih dibawah umur dan masih berstatus anak.
Hanya saja yang perlu disalahkan tindakan para aparat penegak hukum kita dalam
mengintrogasi para pelaku.haruskah dengan cara binatang?. Demi menegakkan
keadilan dan merasa dicendarainya rasa keadilan bagi masyarakat kecil,ditandai
dengan penganiayaan atas anaknya hanya karena mencuri sandal jepit. Tindakan
orang tua si anak pencuri sandal jepit membawa kasus ini ke jalur hukum tidak
lah salah tapi orang tua juga jangan mengacuhkan begitu saja nasib si anak
sehingga anak bisa diseret ke pengadilan dan diancam hukuman lima tahun
penjara.
Dari kedua kasus diatas,kasus yang menimpa bocah pencuri sandal
jepit dan nenek pencuri buah kakao jelas Tidak ada keadilan disitu. Karena
hukuman yang adil bukan sekedar berdasarkan pasal sekian pasal sekian,tapi ada
pertimbangan lain,ada hati nurani dan peri kemanusiaan. Jika melihat dari sisi
pasal-pasal yang tertera dalam KUHP,sang bocah dan nenek minah memang bisa
dikatakan bersalah. Karena dia mencuri. Namun dari sisi lain,apakah itu dapat
disebut hukum berkeadilan? Hanya mencuri tiga buah kakao yang dilakukan seorang
anak dibawah umur dan perempuan tua,harus dihukum,sedangkan para koruptor yang
melahap uang Negara Negara/rakyat sampai milyaran rupiah bebas karena katanya
‘’tidak ada bukti’’?
sebenarnya ada apa dengan dunia hukum kita?. Siapa pun orangnya
sama di hadapan hukum,Itu benar seratus persen. Namun kenyataannya dinegara
kita ini berbeda. Tidak semua orang sama di depan hukum.di Negara ini jika
orang besar dituduh berbuat kesalahan apalagi yang dituduh mempunyai kekuasaan
meskipun jelas ada bukti bersalah,tak langsung menerima hukuman. Proses
pengadilannya bisa diulur-ulur atau ditunda-tunda,bahkan bisa sampai ‘’hilang’’
di tengah jalan. Berbeda dengan orang kecil yang dituduh berbuat kesalahan,’’cepat’’
dijatuhi hukuman,padahal banyak kejadian,kemudian terbukti dia tidak bersalah.
Tapi dia sempat menjalani hukuman sampai bertahun-tahun. Tidak ada ganti rugi
apapun dari pemerintah. Jadi hukum yang bagaimana yang harus ditegakkan di Negara
ini? Yang Sering kali para pemimpin bangsa ini menyuarakannya di media-media.
Apakah hanya hukum yang berdasar pasal demi pasal? Atau hukum yang
berkeadilan,berhati nurani,dan bukan hukum yang buta?.
Pembahasan
Pemberian hukuman
tindak pidana di Indonesia saya rasa masih kurang tegas, coba saja bayangkan
dari cerita diatas pencuri sandal, pencuri kakao yang notabene pencurian
tersebut dikategorikan sangat ringan tetapi jatuhan hukuman terhadap kasus
tersebut cukup berat. Jangan karena mereka masyarakat kecil, jadi bertindak
semena-mena. Buktinya saja para koruptor yang mencuri uang Negara sampai
bertriliun-triliun, mereka divonis hukuman penjara menurut saya tidak lama,
meskipun hitungan tahun, tetapi tidak sebanding dengan apa yang mereka perbuat.
Seharusnya para koruptor di jatuhi hukuman sampai berpuluh tahun, didenda
sesuai nominal yang dikorupsi, dan asset-aset milik pribadi kalau bisa disita
juga, agar para koruptor itu jera. Coba bayangkan, para koruptor saja
penjaranya saya rasa sudah cukup bagus disbanding
dengan penjara tindak pidana lain, apa karena mereka orang besar? High class? Lalu
mereka bisa mendapat kenyamanan-kenyaman dalam penjara, tanpa harus dibebani
rasa takut jikalau ada para napi lain yang akan mengajaknya ribut.
Referensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar