Mengapa
Koperasi Sulit Berkembang di Indonesia?
Undang-Undang Dasar
1945 Pasal 33 menegaskan bahwa koperasi mepukan badan usaha berbasis pada
kepentingan ekonomi anggotanya, wujud demokrasi ekonomi, dan gerakat ekonomi
rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Amanat konstitusi itu menempatkan
koperasi sebagai sokoguru perekonomian Nasional dan menjadi bagian integral
dari data perekonomian Negara Kesatuan Republik Indonesia berlandaskan
Pancasila.
Empat Undang-Undang perkoperasian yang
lahir sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 pun menegaskan peran
strategismkoperasi dalam mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan
sejahtera. Koperasi dipilih sebagai tulang punggung perekonomian nasional
karena sangat cocok untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi ekonomi rakyat
serta mewujudkan kehidupan demokrasi ekonomi yang berciri demokratis, otonom,
partisipasif, terbuka, dan berwatak posisi sosial.
Namun, secara de facto, sosok peran koperasi masih jauh ‘panggang dari api’.
Kedudukan koperasi terstruktur dlam posisi yang marjinaldan terkungkung oleh
berbai masalah internal yang melemahkan. Komitmen terhadap amanat pasal 33 UUD
1945, belum berhasil menciptakan fondasi dan bangunan keekonomian koperasi yang
kokoh dan berketahanan. Sebagai badan usaha, koperasi dicitrakan gagal memenuhi
harapan masyarat luas, yaitu entitas bisnis yang menguntungkan. Sebagai gerakan
ekonomi rakyat, koperasi dianggap gagal menjadi aktor sentral demokrasi
ekonomi.
Secara eksternal, pesatnya pengaruh
globalisasi pasar bebas ekonomi dunia telah menggiring perekonomian Indonesia
ke arus kapitalisme dan menyulitkan posisi serta peran koperasi di zona ekonomi
Indonesia. Peran strategis negara untuk mewujudkan ideologi ekonomi berbasis
koperasi sebagaimana tercantum dalam Visi Besar Ekonomi Pasal 33 UUD 1945 tidak
tampak nyata secara signifikan memberi hak sosial ekonomi rakyat berupa
kemakmuran. Hal ini dikarenakan akibat koordinasi dan komitmen yang lemah pada
tataran implementasi peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah,
keputusan menteri, dan kebijakan-kebijakan teknis operasional.
Secara internal, lambannya
perkembangan serta pergerakan koperasi di Indonesia disebabkan sejumlah faktor
internal koperasi itu sendiri, yaitu:
1. Modal Usaha dan Lapangan Kerja
Terbatas
Sehingga sebagian koperasi hanya mengelola satu
jenis usaha, dan sifatnya temporer serta monoton.
2. Kurangnya Tenaga Kerja Profesional
Sebagian masyarakat enggan masuk sebagai pengelola
koperasi karena dinilai tidak menjanjikan masa depan karena pengurus atau karyawan
koperasi sering dikonotasikan terbelakang, pengusaha kelas teri, pengelolanya jauh dari kata profesionalisme.
3. Kepastian Usaha, Segmentasi Pasar,
dan Daya Dukung Organisasi sangat lemah
Percepatan usaha sangat lamban dan kurang mampu
bersaing di pasar, baik pasar lokal, regional dan nasional , apalagi
internasional.
4. Visi dan Wawasan Bisnis Pengurus
Koperasi yang Terbatas
Inovasi dan kreasi serta sinkonisasi tidak tercipta.
Sistem pengelolaan usaha tidak transparan diantara anggota dan pengurus lainnya.
5. Koperasi memiliki Ketergantungan
dominan pada bantuan Pemerintah
Hal ini menyebabkan kurang mendapatkan kepercayaan
dalam mengelola bisnis yang besar. Di satu sisi, koperasi mendapat kucuran dana
yang sangat terbatas dan sedikit, dan di sisi lain, pihak perbankan kurang
respek untuk memberikan kredit pinjaman yang memadai untuk modal yang berskala
besar.
6. Koperasi Tidak dikelola secara
Profesional
Tidak ada follow
up usaha secara tajam, tidak terjadi perputaran modal yang baik, tidak
tercipta siklus kerja yang baku dan berstandar tinggi, serta tidak tumbuhnya
partisipasi kerja secara intensif dan bermutu.
7. Lalu lintas uang yang beredar di
daerah terbatas
Hal ini mengakibatkan daya beli masyarakat melemah,
yang berpengaruh pada perputaran modal yang berjalan lamban, dan untuk
melakukan ekspansi usaha harus menunggu waktu yang lama.
Persoalan-persoalan yang dihadapi koperasi
kiranya menjadi relatif lebih akut, kronis, lebih berat oleh karena beberapa
sebab :
1.
Kenyataan bahwa pengurus atau anggota
koperasi sudah terbiasa dengan sistem penjatahan sehingga mereka dahulu hanya
tinggal berproduksi, bahan mentah tersedia, pemasaran sudah ada salurannya,
juga karena sifat pasar “sellers market” berhubungan dengan pemerintah dalam
melaksanakan politik. Sekarang sistem ekonomi terbuka dengan cirri khas :
“persaingan”. Kiranya diperlukan penyesuaian diri dan ini memakan waktu cukup
lama.
2.
Para anggota dan pengurus mungkin kurang
pengetahuan/skills dalam manajemen. Harus ada minat untuk memperkembangkan diri
menghayati persoalan-persoalan yang dihadapi.
3.
Oleh karena pemikiran yang sempit timbul
usaha “manipulasi” tertentu, misalnya dalam hal alokasi order/ tugas-tugas
karena kecilnya “kesempatan yang ada” maka orang cenderung untuk memanfaatkan
sesuatu untuk dirinya terlebih dahulu.
4.
Pentingnya rasa kesetiaan (loyalitas)
anggota; tetapi karena anggota berusaha secara individual (tak percaya lagi
kepada koperasi) tidak ada waktu untuk berkomunikasi, tidak ada pemberian dan
penerimaan informasi, tidak ada tujuan yang harmonis antara anggota dan
koperasi dan seterusnya, sehingga persoalan yang dihadapi koperasi dapat
menghambat perkembangan koperasi.
Referensi:
Limbong, Bernhard; 2010; “Pengusaha Koperasi” “Memperkokoh Fondasi Ekonomi
Rakyat” ; Jakarta ;Margaretha Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar