Don't Forget to Leave Comment


Minggu, 06 Juli 2014

KASUS KARTEL DI KPPU

KASUS-KASUS DI KPPU

Saat ini, KPPU tengah menangani berbagai perkara kartel dan perkara besar lainnya, seperti perjanjian ekslusif dan penyalahgunaan posisi dominan. Di tengah penanganan perkara yang tengah berjalan tersebut, KPPU tidak jarang menerima surat dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun pelaku bisnis. Surat-surat tersebut dilakukan untuk mengklarifikasi berbagai temuan, memberikan masukan atas substansi, atau sekedar memperoleh informasi yang lebih jelas terkait perkara yang menjadi perhatiannya. Tidak jarang, tanpa memperoleh informasi yang jelas, berbagai pihak melakukan interprestasi sendiri atas proses perkara yang tengah berjalan. Bahkan pernah terdapat pihak swasta yang secara terang-terangan melakukan publikasi di media yang menyatakan bahwa “pelaku dugaan kartel tidak bersalah”.
Di satu sisi tentu saja KPPU menghargai upaya pemangku kepentingan tersebut, karena menunjukkan bahwa mereka sangat peduli dengan proses perkara yang tengah berjalan. Untuk itu, KPPU mengapresiasi setiap niat baik tersebut dan bersedia memfasilitasi setiap pertanyaan untuk menghindari kesalahan interprestasi di pendapat publik.
Tetapi disisi lain, kita harus menunjung tinggi independensi Majelis Komisi yang menangani perkara tersebut dan hukum acara yang dijalankan. Untuk itu, Ketua KPPU, Nawir Messi, menghimbau setiap pihak khususnya yang terkait dengan perkara di KPPU, agar menghormati proses hukum yang tengah berjalan dengan menghindari berbagai bentuk intervensi di luar persidangan, dan memberikan kesempatan bagi Majelis Komisi untuk melakukan pemeriksaan perkara sesuai dengan prinsip due process of law yang berlaku agar dapat mengambil putusan yang baik dan adil. Lebih lanjut.
            Pemerintah bahkan menjadi penghambat dalam usaha Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memberantas kartel, seperti dalam penanganan perkara importasi bawang putih. Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan secara terbuka melayangkan somasi kepada KPPU di awal proses sidang dan kembali melawan putusan KPPU pada akhir masa sidang.

Idealnya, sesuai aturan dan praktik internasional, putusan KPPU dalam kasus importasi bawang putih menjadi landasan hukum yang kuat bagi Kementerian Perdagangan untuk melakukan perubahan. Bukan justru sebaliknya, bersama-sama dengan pelaku usaha melemahkan dan melawan putusan KPPU.
Padahal, seluruh lapisan masyarakat merasakan dampak negatif kartel yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan kejahatan korupsi. Jika korupsi berdampak tidak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat, kartel dampaknya langsung menurunkan daya beli (kesejahteraan) masyarakat melalui pembentukan harga yang abnormal.

KASUS

Jakarta -Sidang kasus dugaan kartel bawang putih impor oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akhirnya selesai sore ini. KPPU memutuskan banyak pihak telah melanggar ketentuan hukum persaingan usaha, termasuk 19 importir yang terbukti melakukan kartel bawang putih impor.

Namun dari sebanyak 22 terlapor, hanya Kepala Badan Karantina Kementerian Pertanian yang tidak melakukan kesalahan. Sementara itu, pihak lainnya seperti Menteri Perdagangan terlibat dalam tindakan kartel impor bawang putih.

"Berdasarkan alat bukti, fakta serta kesimpulan yang telah diuraikan di atas maka Mejelis Komisi memutuskan terlapor I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X, XI, XII, XIII, XIV, XV, XVI, XVII, XVIII, XIX, XXI, XXII terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 24 UU No 5/1999," ungkap Ketua Komisi Sidang KPPU. Sukarmi saat menutup sidang perkara yang memakan waktu 4 jam di Kantor Pusat KPPU Jalan Juanda Jakarta, Kamis (20/03/2014).

Pihak terlapor kasus kartel bawang putih, antaralain:

1. CV Bintan
2. CV Karya Pratam
3. CV Mahkota Baru
4. CV Mekar Jaya
5. PT Dacca Impact
6. PT Dwi Tunggal Buana
7. PT Global Sarana Perkasa
8. PT Lika Daya Tama
9. PT Mulya Agung Dirgantara
10. PT Sumber Alam Jaya Perkasa
11. PT Sumber Roso Agung Makmur
12. PT Tri Tunggal Sukses
13. PT Tunas Sumber Rezeki
14. CV Agro Nusa Permai
15. CV Kuda Mas
16. CV Mulya Agro Lestari
17. PT Lintas Buana Unggul
18. PT Prima Nusa Lentera Agung
19. PT Tunas Utama Sari Perkasa
20. Badan Karantina, Kementerian Pertanian
21. Dirjen Daglu Kementerian Perdagangan
22. Menteri Perdagangan Kementerian Perdagangan


Dikatakan Sukarmi pada pasal 24 berbunyi palaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.

Sukarmi menambahkan semua importir atau terlapor dari nomor 1 hingga 19 juga terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 19 huruf c UU No. 5/1999. Pada pasal 19 berbunyi pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan baik sendiri, bersama, maupun bersama dengan pelaku usaha lain yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan jasa pada pasar bersangkutan.
Sementara itu seluruh terlapor tidak terbukti melanggar pasal 11 UU No. 5/1999.

Sukarmi berdalih saat pemeriksaan ditemukan fakta-fakta sebagai berikut

Terdapat Permentan No 60/2013 yang mengatur mengenai importasi bawang putih
RIPH (Rekomendasi Impor Produk Hortikultura) dibutuhkan untuk melakukan pengurusan SPI (Surat Persetujuan Impor)
RIPH baru diterima akhir Bulan Oktober 2012 oleh para pelaku usaha
SPI yang dikeluarkan Kemendag hanya berlaku 45 hari dimana proses importasi dari negara asal sampai ke Indonesia membutuhkan waktu 26 hari,
Terdapat bencana alam di negara asal yang membuat proses importasi terlambat sampai ke Indonesia
Kebijakan kuota membuat jalur supply dan demand tidak seimbang
Terdapat perpanjangan SPI yang diajukan oleh pelaku usaha dan disetujui Kemendag
Walaupun tidak ada dasar hukum yang mendasari terbitnya perpanjangan SPI
Terdapat persekongkolan yang dilakukan pada saat pemasukan dokumen SPI maupun perpanjangan SPI

Adapun hukuman yang akan dikenakan para terlapor yang diduga melakukan tindak persaingan usaha tidak sehat ini yaitu :

1. Menghukum terlapor I dengan denda Rp 921.815.235,
2. Menghukum terlapor II dengan denda Rp 94.020.300,
3. Menghukum terlapor III dengan denda Rp 838.012.500,
4. Menghukum terlapor IV dengan denda Rp 838.031.000,
5. Menghukum terlapor V dengan denda Rp 921.815.730,
6. Menghukum terlapor VI dengan denda Rp 921.813.750,
7. Menghukum terlapor VII dengan denda Rp 921.813.750,
8. Menghukum terlapor VIII dengan denda Rp 704,286.000,
9. Menghukum terlapor IX dengan denda Rp 518.733.450,
10. Menghukum terlapor X dengan denda Rp 837.990.000,
11. Menghukum terlapor XI dengan denda Rp 842.513.400,
12. Menghukum terlapor XII dengan denda Rp 921.815.730,
13. Menghukum terlapor XIII dengan denda Rp 838.013,850,
14. Menghukum terlapor XIV dengan denda Rp 919.597.635,
15. Menghukum terlapor XV dengan denda Rp 20.015.325,
16. Menghukum terlapor XVI dengan denda Rp 433.267.200,
17. Menghukum terlapor XVII dengan denda Rp 921.815.730,
18. Menghukum terlapor XVIII dengan denda Rp 11.679.300,
19. Menghukum terlapor XIX dengan denda Rp 921.815.235.

Sukarmi menambah pihak terlapor dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam jangka waktu 14 hari setelah diputuskan.


Kejahatan kartel merupakan kanker ganas yang menggerogoti perekonomian negara berkembang, seperti Indonesia. Lebih kronis lagi karena pembentukan kartel bersumber dari kelemahan kebijakan pemerintah, seperti dalam dugaan kartel importasi bawang putih, kedelai, daging, dan lainnya.
Pelaku kartel kemudian memanfaatkan kelemahan kebijakan pemerintah untuk bekerja sama, baik secara formal maupun informal, dalam menentukan harga (price fixing), mengatur produksi (output restriction), dan membagi pasar (market allocation). Juga bersekongkol menentukan pemenang tender baik secara horizontal antar-pelaku usaha maupun secara vertikal dengan pemerintah.
Kejahatan kartel tidak hanya menohok ke bawah, lapisan masyarakat paling miskin yang menjadi semakin miskin karena volatilitas harga, tetapi juga menusuk ke atas, mematikan pelaku usaha lainnya dalam pasar bersangkutan. Kartel menutup kesempatan pelaku usaha yang mengedepankan etika bisnis.
Tidak heran jika kasus kartel di negara berkembang, termasuk Indonesia, selalu dimulai dari persekongkolan vertikal yang dimediasi oleh pemerintah. Faktanya, mayoritas kasus kartel dalam perkara tender yang ditangani KPPU selalu melibatkan pemerintah. Kondisi ini bertolak belakang dengan praktik kartel di negara maju yang  murni dilakukan pelaku usaha.


Referensi