KASUS-KASUS DI KPPU
Saat ini, KPPU tengah menangani berbagai perkara
kartel dan perkara besar lainnya, seperti perjanjian ekslusif dan
penyalahgunaan posisi dominan. Di tengah penanganan perkara yang tengah
berjalan tersebut, KPPU tidak jarang menerima surat dari berbagai pihak, baik
pemerintah maupun pelaku bisnis. Surat-surat tersebut dilakukan untuk
mengklarifikasi berbagai temuan, memberikan masukan atas substansi, atau sekedar
memperoleh informasi yang lebih jelas terkait perkara yang menjadi
perhatiannya. Tidak jarang, tanpa memperoleh informasi yang jelas, berbagai
pihak melakukan interprestasi sendiri atas proses perkara yang tengah berjalan.
Bahkan pernah terdapat pihak swasta yang secara terang-terangan melakukan
publikasi di media yang menyatakan bahwa “pelaku dugaan kartel tidak bersalah”.
Di satu sisi tentu saja KPPU menghargai upaya pemangku
kepentingan tersebut, karena menunjukkan bahwa mereka sangat peduli dengan
proses perkara yang tengah berjalan. Untuk itu, KPPU mengapresiasi setiap niat
baik tersebut dan bersedia memfasilitasi setiap pertanyaan untuk menghindari
kesalahan interprestasi di pendapat publik.
Tetapi disisi lain, kita harus menunjung tinggi
independensi Majelis Komisi yang menangani perkara tersebut dan hukum acara
yang dijalankan. Untuk itu, Ketua KPPU, Nawir Messi, menghimbau setiap pihak
khususnya yang terkait dengan perkara di KPPU, agar menghormati proses hukum
yang tengah berjalan dengan menghindari berbagai bentuk intervensi di luar
persidangan, dan memberikan kesempatan bagi Majelis Komisi untuk melakukan
pemeriksaan perkara sesuai dengan prinsip due process of law yang berlaku agar
dapat mengambil putusan yang baik dan adil. Lebih lanjut.
Pemerintah bahkan menjadi penghambat
dalam usaha Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memberantas kartel, seperti
dalam penanganan perkara importasi bawang putih. Pemerintah melalui Kementerian
Perdagangan secara terbuka melayangkan somasi kepada KPPU di awal proses sidang
dan kembali melawan putusan KPPU pada akhir masa sidang.
Idealnya, sesuai aturan dan praktik internasional,
putusan KPPU dalam kasus importasi bawang putih menjadi landasan hukum yang
kuat bagi Kementerian Perdagangan untuk melakukan perubahan. Bukan justru
sebaliknya, bersama-sama dengan pelaku usaha melemahkan dan melawan putusan
KPPU.
Padahal, seluruh lapisan masyarakat merasakan dampak
negatif kartel yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan kejahatan korupsi.
Jika korupsi berdampak tidak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat, kartel
dampaknya langsung menurunkan daya beli (kesejahteraan) masyarakat melalui
pembentukan harga yang abnormal.
KASUS
Jakarta -Sidang kasus dugaan kartel bawang putih impor
oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akhirnya selesai sore ini. KPPU
memutuskan banyak pihak telah melanggar ketentuan hukum persaingan usaha,
termasuk 19 importir yang terbukti melakukan kartel bawang putih impor.
Namun dari sebanyak 22 terlapor, hanya Kepala Badan
Karantina Kementerian Pertanian yang tidak melakukan kesalahan. Sementara itu,
pihak lainnya seperti Menteri Perdagangan terlibat dalam tindakan kartel impor
bawang putih.
"Berdasarkan alat bukti, fakta serta kesimpulan
yang telah diuraikan di atas maka Mejelis Komisi memutuskan terlapor I, II,
III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X, XI, XII, XIII, XIV, XV, XVI, XVII, XVIII,
XIX, XXI, XXII terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 24 UU No
5/1999," ungkap Ketua Komisi Sidang KPPU. Sukarmi saat menutup sidang
perkara yang memakan waktu 4 jam di Kantor Pusat KPPU Jalan Juanda Jakarta,
Kamis (20/03/2014).
Pihak terlapor kasus kartel bawang putih, antaralain:
1. CV Bintan
2. CV Karya Pratam
3. CV Mahkota Baru
4. CV Mekar Jaya
5. PT Dacca Impact
6. PT Dwi Tunggal Buana
7. PT Global Sarana Perkasa
8. PT Lika Daya Tama
9. PT Mulya Agung Dirgantara
10. PT Sumber Alam Jaya Perkasa
11. PT Sumber Roso Agung Makmur
12. PT Tri Tunggal Sukses
13. PT Tunas Sumber Rezeki
14. CV Agro Nusa Permai
15. CV Kuda Mas
16. CV Mulya Agro Lestari
17. PT Lintas Buana Unggul
18. PT Prima Nusa Lentera Agung
19. PT Tunas Utama Sari Perkasa
20. Badan Karantina, Kementerian Pertanian
21. Dirjen Daglu Kementerian Perdagangan
22. Menteri Perdagangan Kementerian Perdagangan
Dikatakan Sukarmi pada pasal 24 berbunyi palaku usaha
dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau
pemasaran barang atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang
dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi
berkurang baik dari jumlah, kualitas maupun ketepatan waktu yang
dipersyaratkan.
Sukarmi menambahkan semua importir atau terlapor dari
nomor 1 hingga 19 juga terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 19
huruf c UU No. 5/1999. Pada pasal 19 berbunyi pelaku usaha dilarang melakukan
satu atau beberapa kegiatan baik sendiri, bersama, maupun bersama dengan pelaku
usaha lain yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat berupa membatasi peredaran dan atau penjualan
barang dan jasa pada pasar bersangkutan.
Sementara itu seluruh terlapor tidak terbukti
melanggar pasal 11 UU No. 5/1999.
Sukarmi berdalih saat pemeriksaan ditemukan
fakta-fakta sebagai berikut
Terdapat Permentan No 60/2013 yang mengatur mengenai
importasi bawang putih
RIPH (Rekomendasi Impor Produk Hortikultura)
dibutuhkan untuk melakukan pengurusan SPI (Surat Persetujuan Impor)
RIPH baru diterima akhir Bulan Oktober 2012 oleh para
pelaku usaha
SPI yang dikeluarkan Kemendag hanya berlaku 45 hari
dimana proses importasi dari negara asal sampai ke Indonesia membutuhkan waktu
26 hari,
Terdapat bencana alam di negara asal yang membuat
proses importasi terlambat sampai ke Indonesia
Kebijakan kuota membuat jalur supply dan demand tidak
seimbang
Terdapat perpanjangan SPI yang diajukan oleh pelaku
usaha dan disetujui Kemendag
Walaupun tidak ada dasar hukum yang mendasari
terbitnya perpanjangan SPI
Terdapat persekongkolan yang dilakukan pada saat
pemasukan dokumen SPI maupun perpanjangan SPI
Adapun hukuman yang akan dikenakan para terlapor yang
diduga melakukan tindak persaingan usaha tidak sehat ini yaitu :
1. Menghukum terlapor I dengan denda Rp 921.815.235,
2. Menghukum terlapor II dengan denda Rp 94.020.300,
3. Menghukum terlapor III dengan denda Rp 838.012.500,
4. Menghukum terlapor IV dengan denda Rp 838.031.000,
5. Menghukum terlapor V dengan denda Rp 921.815.730,
6. Menghukum terlapor VI dengan denda Rp 921.813.750,
7. Menghukum terlapor VII dengan denda Rp 921.813.750,
8. Menghukum terlapor VIII dengan denda Rp
704,286.000,
9. Menghukum terlapor IX dengan denda Rp 518.733.450,
10. Menghukum terlapor X dengan denda Rp 837.990.000,
11. Menghukum terlapor XI dengan denda Rp 842.513.400,
12. Menghukum terlapor XII dengan denda Rp
921.815.730,
13. Menghukum terlapor XIII dengan denda Rp
838.013,850,
14. Menghukum terlapor XIV dengan denda Rp
919.597.635,
15. Menghukum terlapor XV dengan denda Rp 20.015.325,
16. Menghukum terlapor XVI dengan denda Rp 433.267.200,
17. Menghukum terlapor XVII dengan denda Rp
921.815.730,
18. Menghukum terlapor XVIII dengan denda Rp
11.679.300,
19. Menghukum terlapor XIX dengan denda Rp
921.815.235.
Sukarmi menambah pihak terlapor dapat mengajukan
keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam jangka waktu 14 hari setelah
diputuskan.
Kejahatan kartel merupakan kanker ganas yang
menggerogoti perekonomian negara berkembang, seperti Indonesia. Lebih kronis
lagi karena pembentukan kartel bersumber dari kelemahan kebijakan pemerintah,
seperti dalam dugaan kartel importasi bawang putih, kedelai, daging, dan
lainnya.
Pelaku kartel kemudian memanfaatkan kelemahan
kebijakan pemerintah untuk bekerja sama, baik secara formal maupun informal,
dalam menentukan harga (price fixing), mengatur produksi (output restriction),
dan membagi pasar (market allocation). Juga bersekongkol menentukan pemenang
tender baik secara horizontal antar-pelaku usaha maupun secara vertikal dengan
pemerintah.
Kejahatan kartel tidak hanya menohok ke bawah, lapisan
masyarakat paling miskin yang menjadi semakin miskin karena volatilitas harga,
tetapi juga menusuk ke atas, mematikan pelaku usaha lainnya dalam pasar
bersangkutan. Kartel menutup kesempatan pelaku usaha yang mengedepankan etika
bisnis.
Tidak heran jika kasus kartel di negara berkembang,
termasuk Indonesia, selalu dimulai dari persekongkolan vertikal yang dimediasi
oleh pemerintah. Faktanya, mayoritas kasus kartel dalam perkara tender yang
ditangani KPPU selalu melibatkan pemerintah. Kondisi ini bertolak belakang
dengan praktik kartel di negara maju yang
murni dilakukan pelaku usaha.
Referensi
http://www.kppu.go.id/id/2014/07/kppu-himbau-setiap-pihak-hormati-proses-hukum-yang-sedang-berjalan/